cerpen



Ning

   Lembayung bergoyang menoleh pada sang senja yang termangu. Angin berhembus mengusik ketentraman. Mendung datang tanpa menyapa. Dan rintikan hujan mulai menghampiri. Aku terpaku dibalik jendela, melihat hujan sore itu. Rintikan hujan berkerumun dan menetes pada alam yang kini mulai gersang. Aku tak henti-hentinya bersyukur pada Sang Khaliq yang Maha Sempurna dan Maha Bijaksana, karena aku masih diijinkan menyaksikan indahnya dunia. Tiba-tiba sekelebat sosok wanita menggendong anak dengan payung hitam dan menenteng sebuah kerangjang kecil. Berjalan pelan dan terlihat kelelahan. Cipratan air kendaraan yang lewat membuat pakaian yang ia kenakan semakin terlihat lusuh dan tak layak dikenakan lagi. Anak yang digendongnya ditutup oleh selendang yang digunakannya untuk menggendong. Aku bangkit dari tempatku, aku merasa kasihan pada wanita itu. Aku beranjak keluar dan menghampiri wanita malang tersebut.
Ku ambil payung dan  kakiku mulai melangkah di jalan raya dimana wanita itu berjalan. Aku berjalan di belakangnya, aku panggil dia pelan-pelan “Nyuwun sewu, mbak. Sadeyan menapa nggih?”, dia membalik badan ke arahku. Seketika petir menggelegar, hujan kian murka membasahi bumi. Tiba-tiba aku sesak, bagai ada seutas tali yang mengikat pernafasanku. Ketika dia menegok, ternyata wanita itu teman kecilku. Yang dulu selalu bermain bersamaku. Aku hampir menangis melihatnya. Dan aku pun mengajaknya untuk singgah di rumahku.
Ning. Itulah nama wanita malang yang sedari tadi berjalan menyerang hujan. Aku memberikannya teh hangat. Serta kuberikan handuk dan selimut untuk menghangatkan adiknya itu.
“Matur nuwun ya, maaf jadi merepotkan” ucap Ning padaku. “Sama-sama, Ning. Aku tidak akan pernah repot untuk temanku” jawabku seraya duduk di samping Ning dan adiknya. Aku tak kuasa melihat Ning dan adiknya. Mereka terlihat sangat membutuhkan. Baju yang dikenakan Ning sudah tambal-tambalan kain, yang warnanya tak serupa dengan warna bajunya. Rambutnya kumal dan tak terawat. Aku sedih lagi melihat adiknya, dengan baju dan celana yang kekecilan dan sudah terlihat tak cocok dikenakan adik Ning yang usianya kira-kira 3 tahun itu. Aku bingung mengapa keadaan Ning seperti ini. Padahal seharusnya ia duduk di bangku SMA sama seperti aku dan teman-temanku yang lain.
            “Bagaimana kabarmu Ning? Sudah lama kita tidak berjumpa bukan?” tanyaku ramah. “Yah seperti yang kamu lihat, inilah kondisiku. Harus rela demi menghidupi dan membantu orang tuaku” jawab Ning sambil menunduk bahkan hampir menangis. “Boleh aku tahu Ning, mengapa kau jadi seperti ini? Kita teman bukan? Kau bisa ceritakan semua padaku. Aku siap dengarkan keluh kesahmu dan aku berusaha membantu semampuku. Itupun jika kamu mau” jawabku. “Terima kasih, kamu memang baik. Aku seperti ini karena memang sejak dudu orang tuaku tak punya biaya untuk menyekolahkanku. Ramaku yang hanya mencari ikan di laut, dan Biyungku yang jaga di kios pasar. Upah yang diperoleh Rama dan Biyung tak cukup untuk biaya sekolah. Bahkan untuk makan sehar-hari pun sangat pas-pasan. Kamu tahu sendiri kan aku punya tiga orang adik yang masih kecil. Saat itu aku masih duduk di bangku SD kelas, tiba-tiba Ramak kehilangan pekerjaan karenya bosnya bangkrut. Dan kemudian menjadi kuli di pasar. Akhirnya aku mengalah, lulus terlebih dahulu dari teman-temanku. Padahal seharusnya 5 bulan lagi aku ujian dan mendapat ijazah. Namun apalah daya, aku kan anak pambarep. Sudah jadi kewajibanku untuk bantu Rama dan Biyung. Aku pun berangkat ke kota untuk mencari pekerjaan. Tapi tak ada satupun yang mau menerimaku, anak sekecil aku yang masih berusia 11 tahun. Bahkan ijazah satupun tak kumiliki. Pasti semua orang menganggapku sangat lemah. Selama beberapa hari di kota aku belum juga menemukan  pekerjaan untukku. Untuk makanpun aku tak punya uang. Sehari-hari kau hanya mengais makana sisa di jalanan. Tidurpun harus diemperan ruko, yand kadang diusir oleh sang pemiliknya” tangis Ning mulai pecah karena sudah tahan. Akupun ikut menangis karena ternyata perjuanganya begitu hebat. Adik Ning juga ikut menangis.
“Le cah bagus, mbak ndak apa-apa. Jangan ikut nangis to. Malu dilihat sama Mbak Ratih. Cup cup cah bagus” kata Ning dengan sabar. Aku tak menyangka usianya yang berkisar 16 tahun bisa begitu dewasa dan memiliki sifat seperti itu. Aku iri melihatnya, padahal usiaku sama dengan Ning. Tapi aku tak bisa menjadi seperti dirinya. “Lalu bagaimana ceritanya kamu bisa mengajak adikmu berjualan seperti saat ini? Bukankah ia terlalu kecil untuk kau ajak berkeliling?” tanyaku yang sedari tadi ingin tahu. “Kamu ini dari dulu memang selalu ingi tahu ya. Aku mengajak adikku karena ia tak ada yang merawat. Rama dan Biyungku sibuk di pasar. Kedua adikku duduk di bangku SD. Mana mungkin cah ragil ini aku tinggalkan di rumah sendiri. Aku kan juga sudah berjanji pada Rama dan Biyung buat jaga adik-adikku dan bantu Biyung. Jadi yah beginilah aku sehari-hari. Membanting tulang, memeras keringat demi adik-adikku dan keluargaku. Walau badai menerjang, banjir menghadang dan angin mengusik keangkuhan aku akan tetap berusaha. Karena aku tak mau meihat adik-adikku bernasib sama sepertiku. Aku rela tak punya satupun ijazah selama hidupku, namun kau tak rela jika itu menimpa adikku” kata Ning penuh semangat. “Iya Ning, jika kamu perlu bantuan dariku akau akan siap membantu” kataku.
            Kemudian aku dan Ning bercerita masa kecilku bersamanya dulu. Saat sedang ask bercerita, suara adzan Maghrib berkumandang. Ning dan adiknya pamit ulang. Aku berpesan agar Ning sering mampir ke rumahku.
            Aku kembali duduk dan menikmati secangkir teh dingin yang sedari tadi menemaniku, Ning dan adiknya. Mungkin secangkir teh itu menjadi saksi bisu atas pahitnya kehidupan yang Ning  jalani saat ini.

Comments

Popular posts from this blog

analisis puisi

Cerpen