cerpen



Sepenggal Kisah

Embun bergelayut mesra pada lembayung. Krokk krokk .. suara katak hijau bersenandung dengan riangnya. Semut-semut hitam mulai keluar dari gundukan pasir. Guyuran air hujan membasahi rerumputan liar. Sang fajar tak sedikit pun menampakkan rona cahayanya. Hembusan nakal sang bayu menelusup pori-pori kulitku hingga hampir membekukan urat nadi.
Sekelompok pedagang sayur keliling berkejar-kejaran, lengkap dengan semua sayur di belakang kendaraannya. Rintikan hujan pagi itu tak mampu mematahkan semangat mereka. Ya, demi sesuap nasi mereka dengan penuh pengorbanan melakukannya. Para pelajar sudah mengenakan seragam mereka, memakai sandal, tas kecil sudah ada di punggung, dan pasti payung atau pun mantel mereka gunakan untuk melindungi diri mereka.
“Wah, ayo cepat nanti kita terlambat”
“Iya ya, aku juga tau kok”
“Sekarang kan ada pelajaran tambahan, kalau kita terlambat masuk pasti pak guru marah”
“Ya sudah, kita lari saja”
Ya begitulah sedikit perbincangan pelajar berseragam putih merah yang berjalan lewat depan rumahku itu. Aku yang sedaritadi duduk di kursi rotan bundar, menyaksikan keributan di pagi ini. Dan itu semua terjadi karena satu alasan, hujan. Sebenarnya aku juga enggan berangkat ke sekolah. Ingin rasanya aku kembali ke kamar mungilku, dan ku rebahkan kembali tubuh. Namun entah, ada dorongan yang sangat kuat bahkan aku sendiri tak mampu menjelaskannya. Ya, dorongan agar aku berangkat ke sekolah, mencari ilmu. Dan mengejar impianku.
            Arlojiku menunjukan pukul 06.20, angkutan umum berwarna merah bernomor punggung 33 yang biasa mengantarkanku ke sekolah akhirnya datang juga. Ternyata belum ada penumpang. Dan aku mengambil tempat duduk paling pojok jendela, agar aku bisa melihat semuanya. Setiap gang, pak sopir itu mengurangi kecepatannya. Ketika ada tangan melambai, dengan sigap pak sopir menginjak rem dan menghentikan mobilnya.
“Lho masih sepi ya, kang”
“Iya bu, maklum hujan. Mungkin pada malas keluar”
Menit demi menit berlalu, dan angkutan umum pun makin padat penumpang. Namun tiba-tiba ....
Bremm bremm bremm, tin tin tin tin .. Suara klakson dari mobil kuning di belakang mengagetkan penumpang, termasuk juga aku.
“Ayo, saingan. Dapat berapa orang kamu pagi ini. Hahaha”
“Terus apa hubungannya sama kamu, dasar sok ya”
“Dasar pak tua, nggak modern. Kuno, kampungan, norak!”
“Sialan kamu, beraninya ngatain orang tua. Kualat sampeyan le!”
Bremm bremm bremm, angkutan umum yang kau naiki saling salip menyalip satu sama lain dengan angkutan umum berwarna kuning tadi. Mereka saling mengumpat, saling menyalahkan, saling mengejek, dan meluangkan amarahnya. Kedua sopir mulai ugal-ugalan, ibarat kerasukan setan. Lubang genangan air pun mereka terobos. Cratt, mengenai seorang bapak di pinggir sawah.
“Wong edan, esuk-esuk gawe nesu. Awas kowe ya!” umpat bapak tadi.
“Nyuwun sewu Lek, amit nggih” teriak sang sopir.
Namun tetap saja tak ada salah satu sopir yang mau mengalah. Mereka tetap mementingkan ego masing-masing. Hingga sesekali angkutan oleng ke kanan atau ke kiri. Tanpa mereka sadari, mereka membawa penumpang. Ya, aku menahan katakutanku. Sama dengan penumpang lain. Dalam hati, aku berkata ternyata seperti ini kerasnya kehidupan yang sesungguhnya. Mungkin bukan hanya pak sopir itu saja yang berlomba-lomba mencari rejeki untuk keluarganya. Namun orang tuaku juga sama seperti ini. Ya, kini kau mengerti dorongan kuat yang sedaritadi membangkitkan semangatku berangkat ke sekolah itu untuk memberitahuku tentang semua ini. Tentang pengorbanan, perjuangan, persaingan orang tua kita untuk menghidupi keluarga dan tetap bertahan dalam liarnya kehidupan. Terima kasih, Ya Allah.
“Kang, pelan-pelan dong”
“Heh, pak sopir jangan ngawur kalo nyetir”
“Iya, kalo nyupir lihat-lihat dong. Lubang segede gitu kok ya, diterobos”
Ptokk ptokk ptokk, wekk wekk wekk. Ayam dan bebek milik salah satu penumpang berteriak, dan berusaha keluar dari tas bambu yang membuat mereka tak nyaman itu.
Heokk hoekk, ibu paruh baya yang duduk di muka pintu sibuk mengambil minyak kayu putih di tas kecilnya.
“Astagfirullah”
“Ya Allah Gusti, La ilahaillallah”
Oek oek oek, bayi perempuan kecil yang digendong ibunya menangis ketakutan dan bersembunyi di balik selendang ibunya. Anak anak berseragam putih abu-abu sepertiku hanya menggenggam tangan, memejamkan mata, dan komat kamit. Entah apa yang dia ucapkan. Namun aku heran dengan lelaki berrambut putih gondrong dan berjenggot tebal itu itu. Dia malah tersenyum, tanpa ada sedikit kekhawatiran yang terbaca dalam raut wajahnya. Ku lihat bapak itu, wajahnya sangat tenang, tentram, damai, teduh sekali.
“Pelan-pelan saja le, jangan gegabah. Kamu bawa nyawa orang banyak lho. Kalau ada apa-apa, apa kamu siap tanggung jawab sama keluarga mereka. Hidup ini memang egois, yang cepat yang menang. Tanpa memperdulikan orang lain. Urip iku sing ngati-ati, alon-alon wae sing penting kelakon lan slamet” tiba-tiba bapak itu berkata demikian.
Pak sopir mendengar kata-kata bapak itu, dan mulai mengurangi laju kecepatan angkutannya.
“Astagfirullah hal’adzim” kata pak sopir sambil menghembuskan nafas panjang.
“Alhamdulillah, ya Allah”
“Slamet slamet”
“Hufff” Penumpang lega, menghembuskan nafas panjang. Mengelus dada mereka. Tiba-tiba ..
“Kiri le”
Dengan segera, mobil berhenti pada suatu pertigaan. Bapak berrambut gondrong itu turun dari angkutan umum. Aku terus mengamatinya, hingga angkutanku melaju lagi. Tanpa kusadari, ternyata pertigaan tadi adalah kuburan. Bulu kudukku langsung berdiri. Rasa kaget, takut, penasaran bercampur aduk menjadi satu. Kini aku memeras otakku, sebenarnya siapa bapak yang tadi? Apa jangan jangan ...


Comments

Popular posts from this blog

analisis puisi

Cerpen